Nama :
Litha Verlisya Putri Bunyamin
Nim :
120210302067
Sejarah Intelektual kelas A
1. Apa
sebenarnya konsep feodalisme ?
Feodalisme
adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang
diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra.
Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem
politik di Eropa pada Abad
Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal)
sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki
(biasanya raja atau lord).
Istilah feodalisme berasal dari bahasa Frankis (Perancis
kuno) yang berbunyi fehu-ôd, feod, feud, dan yang berarti pinjaman, terutamalah
tanah yang dipinjamkan, dan itupun untuk suatu maksud politik. Lawan kata itu
adalah all- ôd atau milik sendiri Dalam peristilahan hukum adat feodum menyerupai
tanah gumantung, gaduh atau paratantra, sedangkan allod menyerupai tanah
yasan, yosobondo atau svatantra.
Adapun feodum atau pinjaman tanah seperti itu timbul
dalam zaman lampau secara besar-besaran di negara-negara Eropa Barat yang
diliputi oleh peristiwa desentralisasi kerajaan Francis sesudah Karen Agung.
Maka kerajaan Frankis lahir sesudah tenggelamnya Imperium Rumawi. Dalam hukum
Rumawi tercantum suatu kesadaran akan milik mutlak seseorang yang besar sekali,
serta dijamin oleh serba macam ketentuan hukum. Imperium Rumawi berbentuk pemerintahan yang amat
sentralistis dan tepat dikatakan berazaskan kapitalisme-negara yang meruncing
sejak maharaja Diocletinus (286-305 M).
Dalam zaman Abad Tengah hampir
tak terdapat peredaran uang dan pada umumnya tidaklah mungkin mengupahi suatu
badan pegawai pemerintah maupun suatu tentara tetap, apalagi menyelenggarakan
administrasi negara berpusat. Karena itu, justru untuk menyelenggarakan
keamanan rakyat dan mencegah kekacauan, beberapa bentuk organisasi suku dari
zaman sebelum kekuasaan Rum dihidupkan kembali. Maka dalam organisasi kesukuan
itu kepunyaan bersama atau kolektif yang sangat kuat, bukanlah milik mutlak
seseorang.
2. Bagaimanakah
sejarah perkembangan feodalisme ?
Foedalisme mulai tumbuh pada percampuran
kebudayaan Roma dan Jerman.Tentu saja percampuran kedua kebudayaan ini kemudian
menimbulkan sebuah sistem baru yang disebut foedalisme. Unsur kebudayaan yang membentuk
feodalisme adalah budaya militer suku-suku bangsa Jerman, berupa kebiasaan
para pemimpin pasukan untuk membagikan rampasan perang kepada para prajurit
sebagai imbalan atas pelayanan mereka. Pola ini merupakan dasar hubungan feodal
(lord-vassal) .
Sistem kepemilikan tanah Romawi yg menjadi semakin penting
ketika perdagangan mundur akibat perang. Para petani miskin yang tidak mampu membayar pajak sering
mengalihkan tanahnya kepada bangsawan atau tuan tanah, yang kemudian meminjamkan tanah itu
kepada para petani miskin untuk dikelola. Pada praktiknya para petani yg
terikat pada tanah yang bukan miliknya ini berkedudukan setengah budak. Orang-orang Jerman lambat laun mengadopsi
kebiasaan ini.
Evolusi menuju pemerintahan foedal
dapat ditelusuri pada
Kerajaan Franka.Di pusat Kerajaan Franka,awal foedalisme mulai tumbuh menuju
kedewasaan kokoh.Di tengah situasi yang kacau,anarkis,merosotnya keadaan
ekonomi di Eropa akibat runtuhnya perdagangan dan juga runtuhnya Kekaisaran
Romawi Barat,makin banyak orang bebas mencari perlindungan kepada kaum elit
militer pemegang kuasa di pedalaman.Masyarakat pedalaman terdiri dari petani
kecil,prajurit tak bertuan dan pengungsi dari kota yang terbengkalai itu
mengikat diri menjadi penyewa tanah dan prajurit keluarga tuan tanah yang
semakin besar.
Kerajaan Franka yang dibangun oleh
dinasti Meroving lambat laun menghadapi dilema politik.Hal ini karena
penyerbuan dari dari suku-suku barbar.Sehingga mereka tidak ada cara lain yang
dapat dilakukan kecuali menghadiahkan kedudukan pemerintahan kepada ksatia dan
uskup baik dari golongan sekuler maupun kegerejaan.Hadiah itu berupa tanah
perdikan yang dihibahkan seumur hidup kepada para uskup tersebut dengan
persyaratan tetap setia pada mereka.Pada perkembangnya,para uskup tersebut
mengingkari perjanjian untuk tetap setia kepada Dinasti Meroving.Dari hal ini
seyogyanya tanah yang dihibahkan tersebut bersifat sementara,tetapi ternyata
beerubah menjadi hak kepemilikan tetap dan diwariskan.Tentu saja hal ini
berpengaruh pada kurangnya kewibawaan Dinasti tersebut dan berakibat
digantikannya oleh kekuasaan Dinasti Karoling.
Ketika Dinasti Karoling
berkuasa,terjadi perubahan luar biasa yang digagas oleh Charmelagne sebagai
penguasa terkenal pada masa itu.Tradisi tanah dan kepenguasaan yang semula
telah merosot dicoba untuk ditata.Berkat kberhasilan dalam menghimpun
pasukan-pasukan kavaleri yang mulai dirintis oleh penguasa
pendahulunya,berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya.Sepeninggal
Charmelagne,tanda-tanda kelahiran foedalisme mulai menunjukkan bentuknya.Hal
ini sekali lagi dipengaruhi oleh serbuan orang-orang barbar dari Skandinavia
yang merupakan jelmaan dari suku Viking yang terkenal kejam dan buas,penguasa
Franka harus membangun pertahanan baru yang kuat yang berupa tembok-tembok
tebal dan puri berbenteng.Pertahan yang berupa benteng yang kokoh itu mendorong
para buruh tani mulai memadati daerah daerah sekitar yang berada dalam naungan
perlindungannya.
Sistem
sosial yang berkembang pada masyarakat foedal Eropa umumnya terbentuk dengan
sistem manor .Manor meliputi sebidang tanah yang luas
milik seorang bangsawan atau gereja. Manor merupakan suatu kesatuan sosial dan
politik, dimana pemilik manor bukan hanya menjadi tuan tanah, tapi juga sebagai
penguasa, pelindung, hakim dan kepala kepolisian. Walaupun bangsawan ini termasuk dalam
suatu hirarki yang besar, dimana dia menjadi hamba dari bangsawan yang lebih
tinggi, tapi dalam batas-batas manornya dia merupakan tuan tanah. Dia adalah
pemilik dan penguasa yang tak diragukan lagi oleh orang-orang dan budak-budak
yang hidup di manornya. Orang yang hidup diatas tanahnya dianggap oleh tuan
tanah sebagai miliknya sebagaimana
halnya rumah, tanah dan tanaman. Di sekeliling
rumah bangsawan terdapat ladang
rakyat yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1 atau 1 ½ hektar. ½ atau lebih dari hasil ladang ini menjadi milik
tuan tanah, sedangkan sisanya untuk orang yang menggarapnya yang terdiri dari
orang merdeka dan budak belian. Disini terjadi ketimpangan antara budak belian
dan tuan tanah.
Orang merdeka
atau dalam kalangan apapun seseorang dilahirkan, orang yang merdeka yang
memiliki sendiri tanahnya tak dapat menjualnya pada tuan tanah yang lain.
Pemilikannya sebenarnya berarti bahwa dia tidak dapat diusir dari tanahnya,
kecuali dalam keadaan darurat. Orang yang lebih rendah dari budak tidak
mempunyai hak ini. Seorang budak belian terikat pada tanah yang dikerjakannya,
tanpa ijin dan keterangan yang kuat, dia tidak akan diijinkan untuk meninggalkan baik masih
dalam batas-batas manor tuannya maupun pada manor bangsawan lainnya.
Berdasarkan statusnya timbul serentetan kewajiban-kewajiban yang menjadi dasar
dari organisasi ekonomi manor. Kewajiban-kewajiban ini dapat berupa keharusan
bekerja untuk tuan tanah dan lain sebgainya. Kewajiban ini berbeda-beda antara
manor yang satu dengan manor lainnya, pada tempat-tempat tertentu mereka harus
bekerja lima hari dalam seminggu untuk tuan tanahnya, sehingga tanahnya sendiri
dikerjakan oleh keluarganya (anak dan istrinya). Dan akhirnya budak belian juga
harus membayar beberapa macam pajak, seperti pajak kepala, pungutan kematian,
pajak kawin atau iuran untuk pemakaian pabrik atau tungku. Jika budak belian
memberikan tenaganya untuk tuan tanah, maka sebagai imbalannya si tuan tanah
memberikan sesuatu yang tidak
dapat diusahakan sendiri oleh sang budak. Yang utama yaitu menjamin keamanan
fisik.
Petani merupakan
sasaran utama para perampok atau musuh, mereka tidak berdaya kalau ditangkapi
dan tidak mampu melindungi miliknya terhadap perampokan. Dari hal itu mereka
butuh perlindungan dan tidak heran meskipun budak merdeka memberikan
pengabdiannya pada tuan tanah. Dan sebagai imbalan pengabdian mereka dalam hal
politik, ekonomi dan social ini, mereka mendapat perlindungan dari tuan tanah.
Disamping itu tuan tanah juga memberikan suatu bentuk keamanan ekonomi. Pada
saat-saat bahaya kelaparana melanda, tuan tanahlah yang memberi makan mereka
dari simpanan di gudangnya. Walaupun meraka harus membayarnya, budak belian itu
dibolehkan memakai peralatan dan ternak tuan tanah untuk mengerjakan tanahnya
ataupun tanah tuannya. Pada saat-saat budak belian tidak punya alat-alat
produksi, maka mereka akan diberi alat-alat tersebut dengan Cuma-Cuma kepada
sang Budak.
Beberapa hal yang perlu diketahu dalam perekonomian lingkungan manor yakni, yang pertama masyarakat diatur dan disusun menurut tradisi, karena tidak adanya pemerintah pusat yagn kuat, maka palaksanaan intruksi dari ataspun sangat lemah. Akibatnya laju perubahan dan perkembangan ekonomi masyarakat ini menjadi dangat lambat selama abad pertengahan. Yang kedua, peredaran uang sedikit sekali, karena manor hanya mencukupi kebutuhannya sendiri tidak menjual hasil produksinya ke kota-kota, maksimal hanya kebutuhan kota kecil setempat. Tidak ada manor yang memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa sehingga hubungan dengan dunia luar tidak terjalin sama sekali, bahkan beberapa budak membeli kebutuhan karena banyak barang-barang yang tidak mampu dihasilaknnya sendiri. Hal diatas menyebabkan sedikit sekali peredaran uang yang terjadi.
Beberapa hal yang perlu diketahu dalam perekonomian lingkungan manor yakni, yang pertama masyarakat diatur dan disusun menurut tradisi, karena tidak adanya pemerintah pusat yagn kuat, maka palaksanaan intruksi dari ataspun sangat lemah. Akibatnya laju perubahan dan perkembangan ekonomi masyarakat ini menjadi dangat lambat selama abad pertengahan. Yang kedua, peredaran uang sedikit sekali, karena manor hanya mencukupi kebutuhannya sendiri tidak menjual hasil produksinya ke kota-kota, maksimal hanya kebutuhan kota kecil setempat. Tidak ada manor yang memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa sehingga hubungan dengan dunia luar tidak terjalin sama sekali, bahkan beberapa budak membeli kebutuhan karena banyak barang-barang yang tidak mampu dihasilaknnya sendiri. Hal diatas menyebabkan sedikit sekali peredaran uang yang terjadi.
Penggarap tanah
membayar kewajibannya kepada tuan tanah dalam berbagai bentuk, setiap budak
harus bekerja beberapa hari tertentu dan memberikan barang-barang tertentu
seperti telor, ayam, itik, babi dan lain sebagainya. Memang benar untuk
barang-barang yang diberikannya mereka dibayar ala kadarnya tapi kalau
dibandingkan denga keseluruhannya jumlahnya tidak berarti, sehingga dapat
disimpulkan bahwa seluruh perekonomian manor merupakan suatu perekomian alami,
karena perekonomian ini tidak tergantung pada perdagangan yang memerlukan
peredaran uang.
3. Adakah
feodalisme dalam masyarakat Indonesia ?
Ada, feodalisme dalam masyarakat Indonesia. Kepemilikan
perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan
memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di
mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara
relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup
(makanan dan pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri
dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai
raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan
secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit,
yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang
menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di
Indonesia. Hal ini menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan
feodalisme.
Ini berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah
selama ini yang selalu melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya
sebagai era feodalisme adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa
kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi
hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih
tepat bila dikatakan sebagai setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang
mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut
prajurit dari kalangan kaum tani tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah
untuk keperluan dan milik Raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu
adalah orang bebas atau tidak, merupakan beberapa bukti yang menguatkan
karakter masyarakat setengah perbudakan.
Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling
akhir dari masa setengah perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan
syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan
sebagai kehancuran dari suprastruktur setengah perbudakan. Bagaimana dengan
Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh pada masa setengah perbudakan
yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya
adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah.
Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para
budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas
mereka. Klas-klas sosial dalam masyarakat setengah perbudakan sengaja
disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Ajaran Hindu
tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang mulai hadir di
Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi Islam tidak melawan perkembangan
feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para bangsawan dan
tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem setengah perbudakan yang masih
ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan
berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme
sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun
politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang
sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang
betul-betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah-tuan tanah lokal
(raja-raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam
lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di
kemudian hari oleh kolonialisme.
Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang
secara langsung dimulai pada awal abad 17, terutama Belanda dan Portugis.
Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah
yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin.
Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk
memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.
Pengusaha-pengusaha Belanda lantas membuat Kongsi
Dagang pada tahun 1602 yang di kenal sebagai VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie). Tujuannya untuk menguasai monopoli peradagangan melalui
pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal. Sudah barang tentu
upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari rakyat Indonesia, salah
satunya pada tahun 1621, munculnya tragedi van Bandanaira, meskipun bisa dihancurkan
VOC selama 2 minggu.
VOC dengan dukungan penuh militer Republik Belanda
Bersatu menguasai Banten kemudian memenangkan peperangan melawan Sultan Agung
yang heroik pada tahun 1628-1629. Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh
VOC seiring dengan pembangunan struktur kekuasaan lokal yang berasal dari
bangsawan-bangsawan yang merupakan tuan tanah lokal. Mereka diharuskan untuk
membayar upeti kepada VOC sama seperti ketika mereka membayar upeti kepada
Sultan Agung, atau kepada raja lainnya di Nusantara.
Tahun 1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami
kebangkrutan dan menanggung banyak beban hutang. Besarnya biaya perang yang
harus dikeluarkan dan korupsi yang merajalela di dalamnya telah mempercepat
kebangkrutannya. Akan tetapi mereka telah berhasil menancapkan kekuasaan di
Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua kekuasaan politik dan ekonomi di
Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk oleh Majapahit dan
Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan lokal tunduk pada
Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai dengan kebutuhan
VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal ini baru berhasil
dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.
Kekuasaan kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh
Gubernur Hindia Belanda paska VOC, terutama oleh Raffles (1811-1816) dan
Daendels (1808-1811). Dua orang Gubernur Jenderal di bawah kekuasaan Inggris
dan Perancis, yang sangat ambisius melaksanakan program modernisasi atas
birokrasi tanah jajahan. Mereka menerapkan penarikan pajak seperti pada zaman
Feodalisme Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti yang selama
ini berlaku di Indonesia diganti dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar
dengan penyerahan wajib (Verlichte leveraties) hasil panen; demikian pula
dengan struktur pemerintahan kolonial juga dirubah sedemikian rupa hingga
menjangkau desa, akan tetapi tetap menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal
(tuan-tuan tanah) dengan jabatan asisten Residen, wedana dan asisten wedana,
hingga demang. Pada masa tersebut telah dilakukan pengenalan sistem sewa secara
resmi atas tanah. Penderitaan rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka
ditindas oleh dua kekuasaan sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah
kepada pemerintahan kolonial dan di sisi yang lain harus menyerahkan upeti dan
penggunaan tenaga secara cuma-cuma bagi penghidupan para bangsawan lokal.
Perang paling akhir dan paling lama yang mendatangkan kerugian terbesar
sepanjang sejarah kekuasaan kolonial pada masa itu yang dilancarkan oleh
Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu jawaban rakyat atas penindasan ini.
Perang Jawa atau perang Diponegoro disambut rakyat dan juga didukung oleh
beberapa pimpinan Islam pedesaan. Rakyat mendukung perang ini karena
penghisapan yang dilakukan oleh penguasa di mana kerajaan Mataram bekerjasama
dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa beban pajak yang terlalu tinggi
yang sebenarnya merupakan pajak tidak langsung dari kerajaan Mataram. Ditambah
kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai yang oleh kerajaan disewakan kepada
orang-orang Tionghoa, dimana mereka semaunya menaikkan tarikan bea-cukai.
Akibat dari perang ini, telah menyebabkan kebangkrutan total keuangan negeri
Belanda yang saat itu juga baru bebas dari kekuasaan Perancis. Kebangkrutan
ekonomi inilah yang membuat kolonialisme Belanda menerapkan sistem jajahan yang
sangat menindas dan menghisap rakyat Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa
(STP) atau cultuur stelsel.
Terkonsolidasikannya kekuasaan raja-raja lokal yang
pada hakekatnya adalah tuan feodal besar oleh Belanda serta dikontrolnya secara
ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa kekuasaan feodal mulai melapuk. Pun
dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah sejak Rafless hingga tetap
dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka ini juga menjadi bukti
bahwa mode produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam bentuk murninya.